:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: Poem's, Lyric & Story: Januari 2010

.......

JAngan Pernah Melupakanku

~.~

My Blog

Tempat Share orang2 yang suka nulis n membaca, Tapi maaf ga bisa di Copy...

Ramalan Jodoh

Jumat, 22 Januari 2010

aku padamu

jika kau sayang padaku,
teruslah sayang padaku...
tapi,aku tak bisa memaksamu karena itu cintamu,,,

aku hanya bisa menerima
dan hidup di dalamnya...
penuh bahagia!

jika kau benci padaku,,
bertanyalah pada dirimu apamu yang terganggu.
dengan adanya aku?

dari situ kita berdua belajar
siapa kau
dan
siapa aku?

jika kau sama denganku,,
jangan sesali kepergianku...
karena kehilangan terbesar bukanlah itu!

tapi, apa yang hilang di antara kita.
ketika aku masih ada.

jika memang ada cinta di antara kita aku tak kan pergi jauh darimu,
hidup terus di hatimu.
menghangatkanmu dalam kedinginan
menenangkanmu dalam kemarahan,,
membawa senyum dalam saat2 sepi,,

aku tidak tidur.
juga tidak pergi.
akulah kekuatan bagimu
yang selalu ada

Kamis, 21 Januari 2010

Jenazah Seorang sholehah

Sebuah kuburan tua terletak di halaman surau yang hendak diperluas menjadi sebuah masjid. Karena rencana perluasan ini, maka dapat diperkirakan kuburan tua dimaksud nantinya akan terletak di dalam bangunan masjid, bahkan tepat berada pada mihrab. Oleh karena itu maka setelah melewati musyawarah warga, akhirnya diputuskan akan membongkar kuburan tua yang tak jelas identitasnya ini.
Setelah kuburan tua tersebut dibongkar, keajaiban pun berlangsung. Kain kafan pembungkus tubuh mayat masih terlihat utuh dan putih bersih, bahkan mengeluarkan cahaya yang menyilaukan mata orang yang melihatnya. Selain itu, tubuh sang mayat juga masih utuh, seolah-olah si mayat baru menghembuskan nafas terakhir, padahal dia telah terkubur ratusan tahun lamanya. Wajah si mayat juga nampak tersenyum bahagia.

Siapa sosok jenazah yang mendapat kemuliaan dari Allah SWT tersebut? Dan, apa sajakah amal ibadah yang telah dia kerjakan selama hidupnya di dunia, sehingga jasadnya menunjukkan fenomena kegaiban seperti yang diceritakan di atas? Berikut ini kisahnya seperti yang diceritakan Zailani kepada Misteri beberapa waktu yang silam…:
Asal muasal diketahuinya kuburan tua yang berada di dalam halaman surau yang akan dibangun menjadi masjid itu adalah melalui mimpi Zailani, seorang pemuda yang sangat taat beribadah. Shalat tahajudnya dan shalat dhuhanya tidak pernah tinggal. Selain itu, Zailani juga sangat rajin puasa sunnah Senin-Kamis. Karena ketakwaannya, maka oleh warga Desa Ambang Pakiduhan, Kecamatan Pelembayan, Kabupaten
Agam, Sumatera Barat, Zailani dipilih sebagai bendahara pembangunan surau yang akan diperluas menjadi masjid.
Selama ini, Zailani mendengar cerita dari orang-orang tua di desanya, bahwa di halaman surau yang akan diperluas menjadi masjid itu terdapat kuburan seorang gadis santri dari Pesantren Padang Panjang. Gadis tersebut bernama Siti Aminah. Semasa hidupnya dia hafal Qur’an 30 juz dan sangat shalelah.
Diperkirakan, Siti Aminah meninggal dunia ratusan tahun lalu. Sayangnya, di mana letak kuburan Sitri Aminah ini tidak seorangpun warga yang mengetahuinya secara persis. Tanda-tanda kuburan seperti batu nisan memang sudah lama hilang karena tertimbun tanah.
Misteri keberadaan makam gadis salehah tersebut akhirnya terjawab juga. Suatu malam Zailani bermimpi. Dalam mimpinya, dia merasa datangi oleh seorang gadis cantik berbusana muslimah. Si gadis tidak datang seorang diri, melainkan ditemani perempuan separuh baya.
Di dalam mimpi tersebut. Zaelani merasa pertemuan dengan si gadis terjadi di halaman masjid yang sudah siap dibangun. Gadis cantik ini sangat ingin bertemu dengan pemuda bernama Zaelani.
Dalam hati, Zailani diliputi tanda tanya, “Siapa gadis cantik yang mencariku ini?” Bisiknya dalam hati. Maklum saja, selama ini dia memang tidak punya teman perempuan selain beberpa gadis di desanya yang kebetulan jadi murid mengajinya.
Dari kejauhan gadis itu tersenyum manis menyambut kedatangannya. Jantung Zailani berdebar-debar. Dalam hati, dia sangat mengagumi kecantikan si gadis. Wajahnya putih bersih dan amat berseri-seri. Sungguh, di desanya tidak ada gadis secantik dia.
“Assalammu’alaikum!” Sapa si gadis. Suaranya sangat merdu seperti buluperindu.
“Wa’alaikum salam!” Jawab Zailani semakin terpesona melihat kecantikannya.
“Namaku Siti Aminah. Gadis yang kuburannya nanti akan tepat di mihrab masjid ini. Pindahkan kuburanku ke tempat lain, Bang!” Pintanya.
Zailani hanya mengangguk. Sesaat kemudian, gadis itu pergi meninggalkannya dan Zailani terjaga dari mimpinya. Dia segera bangkit dan duduk di atas tempat tidurnya. Berulang kali dia beristighfar, mengucapkan tasbih, tahmid, takbir dan tahlil.
Jarum jam dalam kamarnya ketika menunjukkan waktu pukul dua dini hari. Zailani menuju kamar mandi dan berwudhu untuk mengerjakan shalat Tahajud. Selesai shalat Subuh, dia menceritakan mimpinya ini pada ibunya yang sudah renta.
“Mungkin mimpimu itu benar. Orang-orang tua kita dulu menceritakan pada ibu, bahwa di halaman surau itu memang ada kuburan gadis yang hafal Al-Qur’an 30 juzz. Gadis itu sangat taat pada Allah SWT dan pada kedua orangtuanya,” jawab ibunya menanggapi mimpi Zailani.
“Tahun berapa dia meninggal dunia, Bu?” Tanya Zailani.
“Ibu tidak tahu tahunnya. Yang pasti dia meninggal dunia dalam keadaan masih suci. Oya, di desa ini, orangtua yang bisa menjelaskan tahun berapa Siti Aminah meninggal dunia mungkin cuma Anggut Mukhtar. Cobalah kamu temui dia agar lebih jelas lagi,” kata ibu Zailani menjelaskan.
Orang yang disebut sebagai Angut Mukhtar ini usianya sudah mencapai satu abad lebih. Diperkirakan dia lahir pada tahun 1909. Kendati sudah sangat tua, tapi pendengaran, ingatan dan penglihatannya masih sangat normal. Hanya saja, ia tidak lagi bisa berjalan alias jompo. Maklum saja, sejak dua puluh tahun yang lalu, dia menderita encok dan kerapuhan tulang. Untuk berjalan harus dibantu dengan tongkat, sebab tulang punggungnya bongkok.
Hari itu, selepas sholat Magrib Zaelani seorang diri bertamu ke rumah Anggut Mukhtar yang sangat sederhana. Kepada si kakek renta ini dia menceritakan mimpi yang dialaminya tadi malam.
“Kalau aku tak salah ingat, gadis bernama Siti Aminah itu meninggal dunia hampir seratus tahun silam. Saat dia meninggal, usia Anggut baru sepuluh tahun. Memang, berbagai peristiwa gaib terjadi saat dia hendak dikuburkan. Misalnya saja, hari di musim kemarau panyang yang tidak pernah turun hujan hampir selama satu bulan, tiba-tiba hujan turun sangat lebat. Tanah yang semula retak-retak menjadi basah dan lembut. Siang hari biasanya panas menyengat tubuh, di hari kematiannya berawan tapi tidak turun hujan. Tanah kuburannya sangat gembur sehingga mudah digali.
Sesaat setelah jasadnya diletakkan di liang lahat. Tanah perlahan jatuh dari atas menutupi liang lahat hingga membentuk gundukan,” cerita Anggut Mukhtar, sesaat kematian setelah dia mendengarkan cerita Zaelani tentang mimpinya bertemu dengan gadis yang mengaku sebagai Siti Aminah.
“Apa amalan Siti Aminah sehingga dia mendapat karomah dari Allah SWT, Gut?” Tanya Zailani.
“Setahuku, gadis itu memang sangat taat kepada Allah, dan taat kepada kedua orangtuanya. Selain itu, dia sangat shalelah. Sepertiga malam waktunya dia habiskan untuk beribadah sunnah. Selesai shalat Subuh, dia menghafal Al-Qur’an hingga terbit fajar, kemudian dia mengerjakan shalat Dhuha. Mungkin karena kesahalehannya itu, dia mendapat karomah dari Allah SWT,” cerita Anggut Mukhtar lagi.
“Apa keluarganya masih ada yang tinggal di kampung ini?” Tanya Zailani.
“Tidak ada. Kedua orangtuanya berasal dari Candung. Ayah danh Ibu Siti Aminah tinggal di desa ini hanya untuk mengajar anak-anak kampung mengaji. Siti Aminah merupakan anak tunggal mereka. Ketika dia meninggal dunia dia sudah duduk di kelas tiga madrasah waktu itu,” jelas Anggut Mukhtar.
“Mengapa warga di sini tidak memberikan tanda kuburnya?”
“Tanda yang dibuat warga berupa nisan hanya terbuat dari kayu broti yang mudah sekali lapuk. Ketika kayu broti lapuk, tanda kuburannya menjadi hilang. Selain itu, sejak wabah muntaber menyerang desa ini, banyak warga yang pergi mencari tempat tinggal di daerah lain. Mereka menduga wabah muntaber sebagai kutukan dari makhluk halus penunggu hutan di pinggir kota.
Kepercayaan itu timbul setelah beberapa warga desa pergi ke dalam hutan menebang kayu untuk membuat rumah. Pada malam harinya, mereka diserang muntaber. Semuanya meninggal dunia. Selanjutnya wrga desa yang lain juga mengalami nasib sama.
Karena peristiwa itu desa ini pernah ditinggalkan penduduknya dan menjadi hutan belantara. Lima belas tahun kemudian, warga yang dahulu pergi meninggalkan desa, kembali ke desanya. Sawah-sawah yang dahulu mereka tanami padi, kembali mereka garap.
Beberapa kuburan keluarga mereka di belakang rumah hanya diberi tanda nisan terbuat dari kayu menjadi lapuk tertimbun sampah dan tertutup tanah. Termasuk kuburan Siti Aminah, sehingga kuburannya tidak lagi diketahui dimana letaknya,” cerita Anggut Mukhtar menjelaskan.
Setelah mendengar penjelasan dari Anggut Mukhtar, pada pagi keesokan harinya Zailani memerintahkan Pak Razali dan Pak Saman untuk menggali kuburan Siti Aminah, sesuai dengan petunjuk yang diterima lewat mimpi. Setelah hampir satu meter tanah digali, Pak Razali menemukan tanda-tanda tanah kuburan dimaksud. Ya, biasanya tanah kuburan ketika digali tanahnya akan lebih lembut. Hanya permukaan saja yang keras, tapi di bawahnya agak gembur.
Penggalian terus dilakukan hingga akhirnya mendapat kepastian saat skop penggali tanah menyentuh papan penutup liang lahat. “Sepertinya kita tidak salah menggali!” Pak Saman berseru.
Perlahan Pak Saman menarik tanah dengan cangkul sehingga satu persatu papan penutup liang lahat terlihat. Meskipun papan penutup liang lahatnya sudah berusia seratus tahun, tapi anehnya masih terlihat baru, seolah-olah baru dipakai. Papan penutup liang lahatnya tidak lapuk di makan rayap.
Saat papan penutup itu dibuka satu persatu, tiba-tiba sinar putih keluar dari kain kafan yang masih terlihat baru dan tetap berwarna putih bersih. Sinar putih itu sangat menyilaukan mata orang yang memandangnya.
Sambil berulang kali memuji kebesaran Allah SWT, dibantu Pak Razali, Pak Saman lalu mengangkat jenazah Siti Aminah ke atas. Warga desa yang berdiri menyaksikannya terperanjat melihat jasad Siti Aminah yang masih utuh. Wajahnya putih berseri-seri. Fadis itu seperti layaknya sedang tidur pulas saja.
Semua urang takjub dibuatnya. Bahkan, berulangkali Zailani menyebut asma Allah sambil menitikkan air matanya. Wajah Siti Aminah benar-benar sama seperti yang dilihatnya dalam mimpi.
Siti Aminah yang tersenyum itu nampak penuh kebahagiaan, bagaikan pengantin baru selesai menikmati malam pengantinnya. Kini dia seolah-olah menikmati bulan madunya. Sebagaimana yang diceritakan Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya, bahwa bagi hamba-hamba yang shalelah, di alam kubur ditemani pria berwajah sangat tampan. “Berbahagialah Anda wahai tamuku dengan apa yang kau terima pada hari ini. Inilah sesuatu yang telah dijanjikan Alah untukmu.” Ahli kubur bertanya, “Siapa gerangan Anda? Saya belum pernah melihatmu ketika berada di dunia?” Ia menjawab, “aku ini amalmu yang shaleh. Maka sengaja aku datang kemari untuk menemanimu, hingga hari berbangkit.
Kemudian berkata amal shalehnya. “Mari kita tidur”. Kemudian keduanya tidur laksana tidurnya pengantin baru. Sampai akhirnya mereka terjaga dari tidur panjang pada saat sangkakala ditiup oleh Malaikat Israfil.” Demikian menurut sebuah hadits.
Dalam tidur panjangnya yang lelap, jenazah Siti Aminah diangkat dari dalam liang lahat. Sejenak disemayamkan di pelataran masjid. Kemudian dikuburkan kembali di belakang masjid. Zailani menyuruh Pak Jamal menembok kuburan sekitar satu jengkal dari tanah dan meletakkan batu nisan. Kuburan Siti Aminah dipagar agar tidak dimasuki hewan ternak warga.
Pada malam hari setelah prosesi penguburan tersebut, Zailani kembali bermimpi bertemu Siti Aminah. Dalam mimpinya, Siti Aminah datang menemuinya di masjid yang sudah selesai dibangun. Padahal saat itu, pembangunan masjid baru saja membuat pondasi. Siti Aminah datang tidak seorang diri, melainkan ditemani seorang perempuan separuh baya sebagai muhrimnya.
“Assalammu’alaikum!” Kata Siti Aminah mengucapkan salam.
Zailani menjawab salam itu. Dia lalu mempersilahkan Siti Aminah masuk ke dalam masjid.
“Terima kasih, Abang telah memindahkan kuburanku,” cetus Siti Aminah penuh haru. Dia tetap memangil Zaelani dengan sapaan Abang. Saat ia meninggal dunia, usia Siti Aminah diperkiraan baru genap delapan belas tahun, sedangkan saat ini usia Zailani memang lebih tua 6 tahun darinya.
“Apakah kau bahagia berada di tempat yang baru?” Tanya Zailani.
Siti Aminah hanya mengangguk. Dia tersenyum manis tipis.
Zainal sangat terpesona menatap kecantikan wajah Siti Aminah. Dalam hatinya, timbul keinginan memiliki isteri yang cantik dan shalelah seperti Siti Aminah. Dalam hati dia pun berandai-andai. “Andaikata aku memiliki isteri seperti Siti Aminah, betapa bahagianya hidupku, sebagaimana yang disebutkan Rasulullah SAW dalam salah satu hadits riwayat Bukhari beliau bersabda, ‘Dunia ini adalah perhiasan. Sebaik-baik perhiasan dunia, isteri shalelah.”
“Abang melamun dan berandai-andai punya isteri seperti Siti?” Tanya Siti Aminah. Zailani hanya tersipu malu.
“Bukankah Allah SWT telah berjanji pada orang-orang beriman, bertakwa dan mengerjakan amal shaleh di dunia. Di akhirat nanti Allah SWT akan menempatkannya di dalam surga dan Abang akan mendapatkan bidadari-bidadari yang tetap perawan. Mereka penuh rasa cinta dan sebaya umurnya dan Abang akan tinggal dalam surga selama-lamanya. Di akhirat tidak ada kematian lagi. Di sana kehidupan abadi,” lanjut Siti.
Zailani hanya mengangguk. Sementara perempuan paruh baya yang bersama Siti Aminah hanya diam membisu duduk di sisinya.
“Bang, kami mohon diri. Assalammu’alaikum!” Sesaat Siti bersama perempuan pendampingnya hilang dari hadapan Zailani, dan dia terjaga dari mimpinya.
Zaelani bangkit dari atas tempat tidur. Berungkali dia mengucapkan tasbih, takbir dan tahmid. Jarum jam di dalam kamar tidurnya menunjukkan pukul dua dini hari. Zailani menuju kamar mandi. Dia segera mengambil air wudhu untuk mengerjakan shalat tahajud.
Pada pagi harinya, Zailani menceritakan mimpi itu pada ibunya. “Allah SWT telah memberikan salah satu bukti dari kekuasaannya padamu. Kau bisa bercerita dengan orang yang telah meninggal dunia ratusan tahun lalu. Biasanya, orang yang bermimpi dengan orang yang telah meninggal dunia, dia hanya diam membisu tidak berkata-kata,” jawab ibunya setelah mendengar cerita itu.
Peletakkan batu pertama pembangunan masjid bertepatan dengan hijrah kaum muslimin dari kota Mekkah ke kota Madinnah. Kemudian, pembangunannya selesai pada 1 Muharram 1428 H. Karena itulah Zailani mengusulkan nama Al Muhajirin untuk nama masjid di desanya itu.
“Muhajirin berarti sekelompok umat Islam yang pergi berhijrah meninggalkan kampung halamannya di Mekkah menuju kota Madinah. Kelompok ini merupakan generasi pertama dari umat Islam yang teguh keimanannya pada Allah SWT dan Rasul-Nya. Dalam kaitannya dengan surau kecil berubah menjadi masjid megah juga merupakan perpindahan dari sikap hidup kaum muslimin di sini. Kini untuk shalat Jum’at tidak perlu lagi harus berjalan kaki sejauh 2 km. Cukup dikerjakan di sini,” papar Zailani menerangkan argumentasinya soal nama masjid yang diusulkannya.
“Kami setuju dengan nama masjid yang diusulkan Zailani. Hijrah dan kaum Muhajirin merupakan awal sejarah dari perkembangan Islam. Dengan hijrahnya Rasulullah SAW bersama para sahabatnya, Islam berkembang pesat di Madinnah dan daerah-daerah di sekitarnya, sehingga Khalifah Umar bin Khattab menetapkan hijrahnya kaum muhajirin dari Mekkah ke Madinnah sebagai penanggalan dalam kalender Islam,” kata Pak Amir Sutan Kayo mengomentari nama masjid yang diusulkan Zailani.
Sejak masjid itu berdiri di desanya, Zailani mendapat amanah dari warga desanya agar mengajari anak-anak usia SD mengaji. Setiap masuk waktu shalat, Zaelani selalu mengumandangkan seruan adzan. Kini masjid merupakan rumah kedua baginya.

Kisah Pohon Apel

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari.? Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu.? Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.?

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih.

“Ayo ke sini bermain-main lagi denganku,” pinta pohon apel itu.
“Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi,” jawab anak lelaki itu.
“Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.”

Pohon apel itu menyahut, “Duh, maaf aku pun tak punya uang… tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu.”

Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang.

“Ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohon apel.
“Aku tak punya waktu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?”
“Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu,” kata pohon apel.

Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira.

Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih. Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.

“Ayo bermain-main lagi deganku,” kata pohon apel.
“Aku sedih,” kata anak lelaki itu. “Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?”
“Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah.”

Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya.

Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu. Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.

“Maaf anakku,” kata pohon apel itu. “Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu.”
“Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat,” kata pohon apel.
“Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini,” kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” kata anak lelaki.
“Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu.”
“Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.”

itulah kasih sayang orang tua terhadap anaknya……….

PEREMPUAN ANEH ITU..??

“wuussss…” angin berhembus terasa panas ketika kaki ini turun dari bis kota, dalam hati aku berseru… “akan kumulai dunia baru”. Hari ini adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di Jatinangor sebuah daerah yang berada di antara Bandung – Sumedang, kawasan yang lebih dikenal sebagai kawasan Pendidikan. Kini telah ku jejakkan kaki disini untuk melanjutkan study.

Ku lanjutkan langkah kaki lebih cepat lagi, sekali lagi ku naik sebuah angkot untuk sampai ketempat yang aku tuju, yaitu rumah nenek, ya aku akan tinggal disana selama menempuh pendidikan. Tanjung sari itulah tempat yang aku kan tuju sekarang, Tanjung sari masih merupakan bagian dari kota Sumedang. Tak tersa esok adalah hari pertama ku mengenakan seragam putih – abu-abu. Dalam angan ku telah berkhayal sereibu satu macam kejadian yang akan kulalui, ku akan mendapat teman yang mungkin akan sangat berlawan latar belakang, bahasa dan kepribadian. Ya, aku yang dapat dikatakan berasal dari suku jawa harus bisa beradaptasi dengan kawan-kawan yang yang berbeda suku.

Tak terasa pagipun menyapa, tok… tok…tok…. “Ade.. Bangun nak, sudah siang ..” samara-samar terdengar suara nenk membangunkan. Aku pun dengan nada sedikit malas menjawab “ iya…”. Kulipat selimut dan kubereskan tempat tidur, lantas aku bergegas menuju kamar mandi, “uuhhhhh…” betapa dinginnya air ini menusuk kedalam tubuhku. Aku pun lantas bergegas mengerinkan tubuh dan berseragam. Hari ini adalah hari pertama OSPEK atau lebih dikenal MOS.

“ Ade, sarapan dulu nak…. Nenek sudah sediakannya diatas meja makan”. Dengan ramah nenek berbicara, lalu berlalu ke dapur. Setelah selesai berseragam kulirik arloji ku, waktu di arloji sudah menunjukkan pukul… 06.45 WIB. Padahal hari ini jadwal ku masuk adalah pukul 07.00. tanpa sepengetahuan nenek aku pun bergegas bersepatu lalu berangkat ke sekolah..

Oh betapa aku bingung hari pertama ku injakkan kaki disekolah aku seperti anak ayam kehilangan induknya, tanpa tujuan dan tanpa arah yang pasti. Aku pun berusaha untuk tidak kaku, aku merasa kesepian ditengah ramainya suasana. Ku coba mulai mencari teman, kumelihat ada seorang lelaki sedang duduk sendiri, di tangga sekolah. Aku pun mendekatinya. Lalu kami pun berkenalan, benar kata orang tak kenal maka tak sayang. Begitulah setelah kami berkenalan rupanya ia seorang yang humoris juga aku pun mulai tak merasa segan untuk bertanya, ia bernama Romy, dia berasal dari Jatinangor. Dia pun mengajakku melihat-lihat gedung sekolah. “TRING….TELOLELOLET… “. Bel berbunyi kami pun lantas berkumpul berbaris dilapangan upacara, karena Bapak Kepsek akan mengumumkan pembagian Gugus, setelah sekian lama aku menanti akhirnya namaku pun disebut juga, sayangnya aku tak satu gugus dengan Romy ia mendapat Gugus “A” sedangkan aku mendapatkan Gugus “G”.

Dengan langkah yang ragu, akupun mulai melangkahkan kaki menuju kelas baruku, oh suasana hatiku yang tadi pagi terasa kembali, andai aku satu gugus dengan Romy mungkin aku tidak akan segugup ini, ada teman untuk mengobrol sekedar menghangatkan suasana. Akhirnya kuambil keputusan duduk dibangku barisan paling pojok belakang, tak lama kemudian kelas ini sudah dipenuhi siwa-siswi baru seperti juga aku, namun mereka selalu menampakkan raut muka yang ceria, saling bercanda ria dengan yang lainnya.

Dalam suasana yang begini aku hanya bisa tersenyum ketika teman-teman baru memandang, entah senyumku seperti apa ku tak tahu karena sepertinya senyum pun terasa hambar, sampai begitu lama aku duduk belum juga aku mendapatkan pasangan, tiba-tiba suasana yang bgegitu ramai menjadi sepi senyap. Ketika seseorang masuk yang ternyata ia adalah kakak kelas yang akan membimbing kami selama MOS, kakak kelas pun memulai materi MOS dengan Perkenalan, Rupanya ia bernama James. Konyolnya lagi aku yang emang berdasar suka nyeleneh, lantas berkata “ 007 dong..”. karuan saja teman-teman menatap kearahku, aku hanya bisa diam.

Sudah kuduga apa yang akan terjadi, pasti kakak kelas akan membuat perhitungan denganku, benar saja ia pun melangkahkan kakinya menuju tempat aku duduk. Lantas ia memandangku dan tersenyum lalu berkata. “ Bagus, Bagus…. Rupanya begitu yah cara kamu mengakrabkan diri dengan Seniormu…”

Aku bingung harus menjawab apa, lantas ku jawab “maaf, kak… saya tidak bermaksud apa-apa saya hanya berbicara secara spontan…”. Begitu gugupnya aku berbicara…

Tanpa aku duga teman-teman satu kelas menjawab bersamaan “Spontan…u…huuuy”. Aku pun mendapatkan hukuman, hukuman yang aku dapatkan adalah bernyajnyi menggunakan berbagai macam Vocal, kujalani hukuman itu. Dari depan kelas ternyata aku dapat dengan jelas melihat satu-persatu wajah-wajah teman baru. Oh…. Manis-manis sekali, akupun bernyanyi dengan santai, akhirnya… bel istirahat berbunyi…

Hukuman pun berhenti… entah apakah akan berlanjut apa tidak aku tidak terlalu memikirkan itu. Akupun lantas memberanikan diri berkenalan dengan teman-teman baru, oh.. rupanya teman-teman begitu ramah, begitu hangat dan dapat emnerima keberadaanku ditengah-tengah mereka, “ edun, maneh… euy, kocak abis”. Agung, temanku membesarkan hatiku. Aku hanya tersenyum “iyah…”. Istirahat pun berakhir, akupun kembali duduk dibangku menanti hukuman apalagi yang akan terjadi, namun tiba-tiba seseorang dengan setengah berlari masuk kedalam kelas ia masih menggendong tasnya. Lalu ia menghampiriku dan berkata. “punten a, abdi Sahdan gugus “G”, Panginten aya keneh tempat kangge abdi calik”. Aku pun tersenyum dan menjawab.. “silahkan, mangga…”. Sekarang aku duduk tidak sendirian lagi. MOS hari ini telah kulewati dengan bermacam kejadian.

Siang ini pulang sekolah aku langsung kerumah, belum juga aku membuka pagar rumah nenek… dari belakang ku sudah ada suara menegur… “ Ade, kenapa Sarapannya tidak dimakan…? Oh, rupanya nenek yang menegurku, “maaf nek, tadi pagi saya buru-buru dan takut terlambat ke sekolah”. Hanya itu yang bisa kujawab. “ya sudah, segera ganti pakaianmu cepat makan siang, makan siang sudah nenek simpan di Lemari, nenek mau pergi mengaji dahulu ke Masjid Baik-baik dirumah..” pesan nenek, sambil berlalu.

Segera kulepas sepatu dan berganti seragam serta melepas lelah dan penat, kuhabiskan satu piring nasi goring yang sudah nenek hidangkan. Setelah makan siang, lantas kunyalakan televisi “ah… menjemukan tidak ada acara yang bagus” batin ku mengeluh. Televisi pun kumatikan, aku pun beranjak dari tempat duduk menuju ke teras depan memandang indahnya panorama alam disekitar rumah nenek, rumah nenek berada disekitar bukit-bukit yang indah dipandang mata. Udaranya yang sejuk dan nyanyian kicau burung masih dapat terdengar dengan merdu membuatku seolah terhanyut olerh suasana.

Hari ini adalah hari kedua ku berseragam putih – abu-abu, hari kedua tak seperti hari pertama telah kudapatkan teman-teman baru, ada Sahdan, Agung, Usep, Rizki Bintang dan Irfan yang begitu langsung akrab denganku, merekalah yang mebuatku optimis untuk bisa tetap bertahan di Rantau. Ada satu perempuan yang menarik perhatianku, semnjak kemarin ia terus saja memperhatikanku, senyumnya begitu indah, sejukkan jiwa. Namanya Esti, ku tahu namanya ketika seorang teman memanggilnya, aku memang belum begitu mengenal satu persatu nama dan wajah teman-teman, namun perempuan ini sungguh berbeda, “ah, bagai punuk merindukan bulan pikirku”. Sungguh aku tak menyangka… hari ini materi MOS adalah Permainan dan aku pun mendapat bagian satu kelompok dengannya, memang benar-benar indah wajahnya, dipandang dari dekat memang begitu jelas dsebentuk kesuasaan tuhan.

Aku pun mencoba mengajaknya bicara, “kenalkan, nama saya Ade. Wong Cirebon”. Dengan logat cirebon yang kental saya memperkenalkan diri. “ o… saya Esti, Esti harianty.. dari Jatinangor”. Suaranya begitu halus, bagaikan suara seorang ibu yang sedang menina bobokan bayinya. Ah.. hari ini sungguh menyenangkan bagiku.

Sepulang sekolah, aku tidak kemana-mana. Aku langsung rebahkan tubuh ku dalam-dalam keranjang, sambil membayang seraut wajah yang indah dipandang. Tak terasa akupun tertidur.

ini adalah hari terakhir aku MOS, sekarang kakak-kakak kelas itu sudah tidak begitu menakutkan bagiku, malah kini aku sudah akrab dengan beberapa dari mereka. Ya, ada Teh Indri, Teh Hanny dan dan Teh Eyos yang aku kenal. Mereka begitu ramah kepadaku sehingga akupun tidak segan untuk bertegur-sapa dengan mereka. Materi MOS kali ini ada pengakraban, Kakak-kakak kelas sengaja meninggalkan kami agar bisa lebih mendekatkan diri antara satu dan lainnya. Momen ini tak aku sia-siakan, sifat nyelenehku tiba-tiba muncul, akupun tak canggung lagi untuk iseng kepada teman, Novi, Astri, Murni, Inbdri, Annissa.. meraka adalah yang aku isengi.

“Sep, balik Sakola main yu ah, ka rumah kamu”. Agung membuka obrolan.
“hayu…hayu… saya ingin tahu juga nich rumah kamu”… Rizki dan Bintang menimpali bersamaan.
“ya, saya mah hayu-hayu wae atuh..”. begitu polosnya Usep menjawab.
Kimni Agung memandang ke arahku dan Sahdan, “Maraneh rek ngarilu, moal ?”. Aku dan Sahdan saling pandang dan kami pun menjawab “ya, Boleh”.

Sesuai rencana, sepulang sekolah kamipun menuju rumah Usep. Rumah Usep berada disekitar kawasan Gunung Manglayang, banyak tumbuhan tumbuh dengan subur disana. “Sep, cai Kalapa kayanya enak sech..”. aku berujar sambil memandang kelapa yang bergelayutan dihalaman rumah Usep. “yah, nanti saya ambilkan. Mari masuk kedalam gubuk saya”. Dengan nada merendah Usep berbicara pada kami.

Kamipun masuk kedalam rumah, betapa sejuknya istirahat dirumah Usep. Rumah Usep belum sepenuhnya bangunan gedong permanen, karena rumahnya masih berdinding bilik bambu.. dan masih berbentuk rumah panggung… angin yang terasa begitu sejuk… tanpa ada polusi, tidak seperti dikota yang sudah terkontaminasi keadaan udaranya. Seorang ibu setengah baya pun mengahmpiri kami, sambil membawa makanan dan minuman. Lalu ia berkata “mangga… dileueut”. “ayo… ayo… dimakan, makanan kampung”. Usep pun menawari kami….

“oh… segar sekali minuman ini sep”. Rizki memulai pembicaraan sambil meneguk segelas air yang dihidangkan…

“minum mah, minum ajah… bilang ajah kalo haus….” Agung menimpali.

Kami berempat hanya bisa tersenyum geli melihat tingkah mereka…

“ De, gimana nih perasaan kamu sekolah di Jatinangor ?” Usep bertanya padaku, kuhanya menjawab “Yah, saya senang disini, disini teman-teman ramah dan ceweknya juga cantik-cantik.

Setelah kami rasa cukup melepas lelah kami berenam pun beranjak menuju kebun jagung milik Usep, jalanan menuju kebun sungguh indah sekali, sepanjang perjalanan kami, di kiri dan kanan menagalir selokan kecil yang berair sangat jernih.

Kami pun lantas mencari jagung yang sudah agak tua, lalu kami berenam membakarrnya.

Hari ini sungguh melelahkan……

Matahri timur menyapa paginya jatinangor, sambil mata sedikit terpejam kubuka horden jendela, sunbgguh silau ketika sinar mentari itu menyapa kedua mataku. Aku pun melangkahkan kakiku kemamar mandi….

“e..e…e… Kumaha ieu teh incu nenek, Kunaoan baru bangun…??tiba-tiba nenek menegur ku. Sambil tersenyum ku jawab pertanyaan nenek “ iya nek, hari ini sudah mulai belajar jadi anak kelas satu sudah mulai berangkat siang “.

“oh… kitu nya… ya udah atuh cepat mandi lalu sarapan “. Nanek berkata sambil mengelus pundakku.

“iyah nek”. Aku pun berlalu menuju kamar mandi. Sungguh aku bersyukur memiliki nenek yang sangat baik dan sayang padaku.

“TRING….TELOLELOLET… “.

Bel berbunyi, seluruh siswa kelas satu pun masuk kedalam kelas masing-masing termasuk juga aku. Aku pun masuk kedalam kelas, dimana didalam kelas begitu riuh. Aku langsung tepuk punggung Agung. “Gung, ada apa ini kok pada rebut ?’ aku bertanya kepadanya.

“oh, itu si Murni Ulang tahun. Udah ngucapin belum ?” Agung balik Tanya padaku, aku hanya menjawab “oh, iya “. Sambil berlalu menuju tempat dudukku.

Seorang Guru perempuan masuk kedalam kelas, Ibu guru itu berbadan sintal, dan masih cukup muda, berkulit putih dan sering sekali tersenyum.

“anak-anak perkenalkan nama ibu, ibu Unay.” Ibu itu memperkenalkan namanya, “mulai sekarang ibu yang akan menjadi wali kelas kalian, ibu mengajar materi Ekonomi”. Lanjutnya.

“bolehkah ibu tahu nama dan asal kalian ?”. lalu ibu guru membuka sebuah buku Absensi, mulai membacakan satu persatu nama siswa dan tibalah saat namaku disebut. “Ade Engkos” saya pun mengacungkan tangan lalu menjawab

“Saya, Bu”.

“Asal sekolah dan alamat ?” ibu guru bertanya lagi. Tanpa berpikir panjang aku pun menjawab “SMPN Cirebon. Bu”. Ibu guru itu sedikit berkerut dahi, lalu berujar “Cirebon, ooo… iya…iya… Terasi yah”. Dalam hati aku menggerutu “Sialan, apakah orang-orang disana hanya tahu Terasi saja jika bicara tentang Cirebon”. Aku pun menjawab “iyah, bu”.

“sekarang tinggal dimana, dan dengan siapa? Lanjut ibu guru.

“saya sekarang tinggal bersama nenek saya di tanjung sari bu”. Ketika ibu itu akan bertanya kembali bel berbunyi, jam pelajaran pertama pun berakhir, akhirnya aku bisa tarik nafasku dalam-dalam.

Bersambung……

Mirna, Itukah Kau......???

sepuluh tahun yang lalu kutinggalkan desaku, sebuah desa kecil yang mungkin tidak semua orang mengetahui, sepuluh tahun yang lalu aku pergi mengadu nasib di Ibukota, meninggalkan sejuta kenangan, sejuta khayalan dan sejuta impian. meninggalkan Mirna gadis desa yang selalu tertunduk tersipu malu ketika kuajak bicara, yang selalu setia mendengar segala keluh-kesah dan tawa bahagiaku.

namun kutelah meninggalkannya sepuluh tahun yang lalu.

***

pagi yang cerah di Ibukota, secerah hatiku hari ini. karena aku akan pulang, oh ibu oh bapa sudah kubayangkan seraut garis pertanda usiamu talah uzur dipelupuk mataku. ku langkahkan kaki dengan penuh harap dapat segera bertemu dengannya.

“oh ibu, oh bapak, aku akan kembali.” dalam hati aku merasa semakin rindu saja terhadap beliau.

“surabaya, surabaya berangkat jam 09.00″.

aku tersentak, seorang kenek bus menghampiriku menawarkan jasa.

Ku segera menuju bus yang sudah dijejali penumpang, “masuk Mas, masih ada yang kosong.” Seru kondektur. Kumelihat masih ada satu bangku kosong dipojok belakang, aku duduk, kusandarkan kepala dalam-dalam ke jok yang terasa keras.

sudah kubayangkan wajah innocent seorang Mirna, gadis desa yang selalu membuat hatiku gerimis setiap kali kumendengarnya. akankah Mirna setia menanti, semenjak pergi putus sudah tiada hubungan kabar darinya. hanya satu yang selalu kuingat darinya, ya… itu adalah ikrar kami berdua sebelum berpisah.

***

kala itu sore hari dipematang sawah, kami duduk berdua. aku cerita semua padanya persoalan yang membuatku harus pergi ke kota. Mirna mendengarkan setiap kata yang aku ucap dengan seksama, lalu ia berucap “Mas apakah Mas merasa sudah yakin dengan keputusan yang mas ambil?”

saya hanya menjawab “demi masa depan kita, saya yakin pilihan ini tidak salah.”

ku elus rambutnya yang halus, dengan setengah manja ia berkata padaku “Mas, mas baik-baik yah disana Mirna akan setia menanti, semoga apa yang dicita dapat tercapai.” pertanyaan darinya hanya aku jawab dengan anggukkan, “tenang saja, mas berjanji tidak akan terlalu lama meninggalkan Mirna, Mirna baik-baik yah disini jaga ibu.”

akhirnya pemtang sawah itu menjadi bukti cinta kita bersemi.

***

kira-kira 1/2 perjalanan lagi aku sampai kerumah, aku sengaja turun dulu hendak membelikan oleh-oleh untuk kedua orangtua dan satu adikku, tidak lupa teruntuk Mirna yang aku sayang. setelah kupilih-pilih akhirnya dapatlah, buah tangan yang tidak terlalu mahal namun layak guna.

matahari sudah hampir tenggelam setelah seharian berganti mobil sampai 4 kali aku harus meneruskan perjalanan kerumah memakai ojek, kampungku kini telah banyak kemajuan sangat berbeda dengan sepuluh tahun silam, sepeda motor sudah bisa dijumpai hilir-mudik.

rasa rinduku telah membuncah-buncah di dada, ku ketuk daun pintu rumah ibu yang sudah lekang dimakan waktu, setelah sekian lama ku ketuk tak ada juga suara yang menyahut, akhirnya kuputuskan untuk lewat pintu belakang saja, namun ketika aku akan melangkahkan kaki terdengar suara ibu memanggil namaku.

***

“ndu, nak itukah kamu…., aduh nak ibu sudah kangen sekali singin berjumpa denganmu nak.” sambil memeluk ku tiada henti ibu berucap.

“mari-mari masuk nak, bapak mu ada didalam sekarang bapakmu sring sakit-sakitan.” aku mengikuti langkah ibu dari belakang dan masuk kedalam rumah.

terlihat bapak sedang terbaring di bale-bale bambu yang agak reot, matanya terpejam. entah tertidur entah sedang apa, aku pun tak tahu. perlahan-lahan aku tepuk bahu bapak, “assalamu’alaikum bapak.” ku ambil tangan bapak lantas kucium dan kupegang erat-erat. terlihat tangan bapak penuh dengan urat-urat yang menonjol keluar, menggambarkan betapa berat beban hidup yang harus dijalani.

“bapak, ini windu pa. bagaimana keadaan bapak, bapak sehat?”

"beginilah ndu keadaan, bapak. bagaimana dengan mu sendiri nak?"

"alhamdulilah, windu baik-baik saja."

begitu haru aku melihat bapak.

“bu, neneng kemana? bagaimana sekolahnya?” aku bertanya pada ibu. neneng adalah adik perempuan ku satu-satu nya terakhir kali kupandang wajahnya sepuluh tahun yang lalu ketika itu ia masih kanak-kanak dan berwajah imut. dan kini aku akan melihat adikku yang sudah menjadi salah satu Kembang desa di kampungku.

“oh Neneng, ia sedang pergi ke surau. biasa mengajar anak-anak mengaji al-quran.” ibuku menjelaskan. “ndu, maghrib sudah hampir habis. Sudah sembahyang kah kamu?” suara halus ibu menyelusup ke dalam kalbuku. Kemudian ibu berlalu kedapur aku pun menyusul dibelakang ibu, hendak mengambil wudhlu.

Betapa sejuk air yang menimpa wajah ini, tak sesejuk air di kota. Lantas aku pun menghadap sang pencipta.

Kicau burung pagi membangunkan aku yang terlelap, baru lagi kali ini aku mendengar merdunya suara burung berkicau, ku buka jendela lebar-lebar, ku hirup udara pagi dalam-dalam. Kulirik arloji yang kusimpan di atas ranjang, masih jam 05.32.

Dahulu ketika masih kanak-kanak jam segini aku telah berkumpul bersama teman-teman di surau untuk bertadarus kepada Wa Encang, Ustadz di kampung ku, mengaji dengan suka cita dengan berjamaah, dengan suara yang kencang dan saling berlomba untuk menyelesaikan juz. Disitu pulalah aku mengenal Mirna, perempuan alim yang selalu tertunduk malu ketika kupandang wajahnya.

Tak terasa lama juga aku melamun sampai-sampai ketukan pintu kamar tak aku dengar, “Mas, ndu sudah siang. Apa mas tidak akan sembahyang?” terdengar suara halus perempuan, tapi itu bukan suara ibuku. Neneng kah itu adikku, oh betapa merdunya ingin segera aku melihat wajahnya.

“Neneng, itu kamu?” penuh harap aku bertanya

“iya Mas, ini Neneng”. Dari luar kamar terdengar suara menjawab.

Segera ku buka pintu kamar. Oh, alangkah aku takjub, Neneng kecilku kini telah menjadi gadis yang cukup menawan. Rambutnya tetap panjang sebagaimana dulu ketika aku meninggalkannya, namun wajahnya semakin manis saja, semakin aku bangga padanya. Neneng langsung mencium tanganku, “mas, apa kabar ndak kangen yah sama adiknya? Lama sekali di kota ndak pulang-pulang.” Sedikit manja ia berkata.

“iya, Neneng adik Mas yang paling cantik. Mas kan banyak kerjaan disana kan buat Bantu Neneng juga, kan Neneng bilang waktu dulu ingin jadi bidan. Gimana sekarang masih minat ndak?”

“yo masih Mas lah, Do’ain Neneng Mas ya sebentar lagi Neneng mau Ujian kelulusan semoga nilainya bagus, dan jadi masuk AKBID ntar kan Neneng bisa bantuin persalinan Ponakan Neneng.” Dengan manja ia berkata sambil berlalu, namun segera aku ambil tangan nya, “Neng, mas mau Tanya nih?”

“Tanya apa toh Mas?” Neneng terbengong.

“Mbak Mirna gimana kabarnya, menurutmu dia kangen ndak yah sama Kang Mas mu?”

“ia baik-baik saja Mas, kalo untuk pertanyaan itu lebih baik tanya ibu saja, saya ndak enak ngomongnya.”

“emang ada apa? Jangan bikin kang Mas mu bingung toh?” aku semakin penasaran dalam hati bertanya-tanya, ada apa.

Diluar sana sang surya sudah jauh berada di poros, bumi pun terasa terbakar dibuatnya. Aku langkahkan kan kaki keluar rumah, sungguh telah banyka berubah kampungku ini. Dulu belum banyak rumah yang di Ploor Lantainya namun kini sudah berkeramik semua, kendaraan bermotor pun bisa terlihat terparkir dihalaman rumah mereka. Sedang asyik aku mengingat memory masa lalu, aku dikejutkan oleh tepukan halus dipundakku. Rupanya itu Ibu.

“Ndu, ada apa toh nak dari tadi Ibu lihat kamu seperti orang bingung?” ibu bertanya padaku. “apa kamu sakit Ndu?”

“tidak Bu, saya baik-baik saja. Hanya hanya memikirkan sesuatu?”

“apa itu Ndu?” ibu bertanya padaku.

“ucapan Neneng tadi pagi, sungguh sampai saat ini aku masih bingung mencari jawabannya.” Suara ku sedikit mengeluh.

“memangnya adikmu ngomong apa toh?”

“Mirna bu.” Hanya itu yang mampu kuucapkan.

“Ndu, apa kau masih mencintai dan mengagumi Mirna?” Tanya ibu padaku.

“Mirna adalah segalanya bagiku bu, ia adalah motivasi dalam hidupku, dia adalah yang pertama dan terakhir bagiku, ia adalah wanita yang membuat hatiku selalu rindu bu.” Jawabku.

“Ndu, tidak ingatkah kamu. Sudah berapa lama kamu pergi dan tak ada kabar kemari. Tidak ingatkah kamu akan hal itu ? Mirna bukan yang dulu lagi, bukan Mirna yang dulu kau cintai, kau sayangi, kau kasihi dan dan bukan pula mirna yang kau kenal dulu. Semua telah berubah nak, seiring perjalanan waktu.” Panjang lebar ibu bercerita padaku.

“memangnya ada apa dengan Mirna, mengapa ibu berbicara begitu bu, tolong bu jelaskan padaku, ada apa saja yang terjadi selama aku pergi.” Dengan rasa penasaran yang membuncah aku bertanya pada ibu.

“Harus bagaimana ibu memulai ini semua nak, memang tak seharusnya ini terjadi. Waktu itu selepas kau pergi, hampir setiap hari Mirna datang kemari bertanya dan terus bertanya, apakah kau telah memberi kabar, bertanya kapan kau akan pulang dan begitulah dan tak pernah lagi ia datang kemari. Sampai suatu saat Ibu Lasti menghadap yang maha kuasa. Tak lama setelah kau pergi Ndu.” Disitu ibu menghentikan ucapannya.

“apa bu, apa saya tidak salah mendengar…” rasa penasaran berkecamuk didalam dada.

“iya nak, dan itu adalah awal dari…, maaf Ndu ibu tak sanggup tuk mengatakan ini.” Bulir air mata mengalir disudut mata ibu.

“apa bu, awal dari apa. Coba ibu jelaskan pada saya bu, jangan ada yang ditutup-tutupi.” Aku semakin penasaran, batinku tak tenang.

“setelah kepergian ibunya, Mirna semakin dilanda kesepian yang amat sangat, ibu sempa menyuruhnya tinggal dirumah ini agar kesedihan tak terlalu membelenggu hidupnya. Dan selama ia dirumah ini, ia selalu bertanya kapan kau datang, kapan kau pulang dan ia selalu bertanya pada ibu, apakah engkau benar mencintai dan menyayanginya. Kira-kira dua minggu ia menginap disini lalu ia meminta izin pada ibu untuk kembali kerumahnya, dan ibu pun mengizinkan karena selama tinggal disini ibu lihat Mirna sudah mulai menemukan semua hidupnya kembali, dan kejadian yang tidak terduga terjadi Ndu.” Ibu berhenti bercerita dan menyeka air matanya. “lanjutkan bu, terjadi apa?” pinta ku pada ibu.

“kejadian itu berawal dari suatu malam, ibu ingat sekali nak. Malam itu adalah malam selasa, ya malam selasa malam dimana esok adalah hari keempat puluh ibu Lasti meninggalkan kita semua. Sore itu Mirna pamit pada ibu untuk pergi mencari kebutuhan yang diperlukan untuk selamatan empat puluh hari ibunya, namun, Ndu sampai Larut malam ibu menunggu belum juga ia kembali, ibu resah, gundah dan sangat gelisah, dan kau tahu Ndu apa yang terjadi, pagi-pagi sekali Mirna datang kerumah dengan kondisi yang sungguh mengharukan".

"sungguh ibu tidak membayangkan ini akan terjadi padanya, sungguh nak ini adalah suatu musibah yang tak pernah terbayangkan." ibu berhenti berbicara dan mengusapa air matanya yang mengalir deras.

"musibah apa bu, apa sebenarnya yang telah terjadi pada Mirna?"

"kau yang sabar ya nak,...." ibu menghentikan ucapannya, "Mirna telah dirampok diperkosa dan dipercaya oleh segerombolan preman pasar."

"apa." bagaikan petir di siang bolong, sungguh keji sekali, siapa yang berani melakukan kebejatan itu kepada gadis sebaik Mirna.

"siapa mereka bu yang berani melakukan perbuatan sekeji itu?" tanyaku pada ibu.

"ibu pun tak tahu nak, sungguh ibu sangat menyesal membiarkan Mirna pergi sendirian, maafkan ibu nak. ibu telah lalai." ibu mengakhiri cerita.

"bukan ibu yang salah tetapi mereka, aku bersumpah bu akan membalaskan sakit dan perih yang dialami Mirna kepada mereka." dengan penuh emosi aku berkata.

"lalu sekarang Mirna dimana bu?"

"semenjak peristiwa itu, ibu tak tahu pasti dimana ia berada sekarang. namun menurut kabar yang ibu dengar ia kini menjual dirinya di jalan besar menuju arah kota".

"hah." sungguh aku hancur mendengarnya, sungguh aku sangat menyesal telah meninggalnya, aku sungguh sangat menyesal telah membiarkannya sendiri, sungguh aku sangat menyesal telah membuatnya merana.
dalam hati tekadku sudah bulat, "aku harus menemukan Mirna dan membawanya pulang, akan kubalaskan apa yang telah dialaminya kepada mereka."





***

bersambung…..

Rabu, 20 Januari 2010

Dari Hati

Mengapa kuharus mengenal dia
Jika akhirnya kuharus terluka
Mengapa aku terima dia
Jika tidak untuk bersama

Bodohnya aku yang tak pernah menyadari
Bukanlah aku yang ada dihatinya
Bodohnya aku yang senantiasa berharap
Dia kan menjadi milikku

Maaf ku yang selalu berharap
Bisa menjadi penemanmu dikala gelap
Bisa menjadi penghibur dikala resah
Menjadi penenang dikala gundah

Mungkin semua kan kusimpan dalam hati
Sebagai kenangan indah yang tak kan pernah mati
Aku sadar bukanlah aku yang ada dihati
Aku pun akan pergi walau pedih

Kau kan slalu menjadi bagian dari hatiku
Kau kan slalu menjadi pujaanku
Ku yakin suatu saat kau kan mengerti dan
Memahamiku betapa ku cinta