"Menolong lah tanpa mengharap pamrih, karena sesungguhnya, Allah itu Maha Melihat lagi Maha Mengetahui"Kita mulai saja dari ujung. Namanya Kirman, umurnya sekitar 50 tahun, penjual soto Lamongan yang sukses. Warung soto kaki limanya tak pernah sepi pengunjung; pagi, siang dan malam, kuah soto dan sayatan daging ayam disantap nikmat para pelanggan. Kotak tempat menyimpan uang cepat menggunung.
Berikutnya Bu Tumirah, janda berusia sebaya Pak Kirman, asal Ponorogo yang berjualan buah-buahan, yang juga tak henti-hentinya melayani pembeli apel Washington, pir Korea, anggur Australia, melon lokal dan berbagai buah lain. Kalung emas bak rantai kapal yang melingkar di leher Bu Tumirah adalah pertanda betapa makmurnya dia.
Lalu ada Mas Achmad, pemuda pengantin baru yang memiliki sekaligus menjaga Warnet dengan 20 booths dan buka 24 jam. Orang hilir mudik ke luar masuk Wartel ini mengantar gemerincing uang yang tak kunjung habis.
Di sebelahnya, berdiri bengkel ketok ‘magic’ Blitar. Setiap hari rata-rata tiga mobil penyok masuk ke bengkel ini dan keluar mulus lagi, semulus uang yang diterima Pak Juwardi, sang bos.
Paling akhir, orang tua yang sedang duduk termenung menghisap rokok murahan tanpa filter adalah Pak Wagiman, tukang tambal ban yang hari itu dan hari-hari sebelumnya tak pernah merasakan sirkulasi keuangan seperti empat tetangganya di jalan itu. Menurut cerita, Pak Wagiman sudah mangkal di jalan ini lebih dari 25 tahun lamanya. “Sejak tahun 1985, waktu anak bungsu saya lepas SMP,” kata pak Wagiman suatu hari, ketika memompa ban sepeda motor saya melalui pipa udara yang disalurkan dari kompresor tua berwarna oranye kusam. Selebihnya, saya tak tahu banyak tentang pak Wagiman.
Siang itu, sekitar pukul 1, tiba-tiba di warung soto Pak Kirman berdiri seorang lelaki perlente setengah baya berbaju putih necis, dengan rambut disisir klimis. Dari jarak dua meter tertebar aroma segar dari tubuhnya. Ia menenteng tas hitam agak menggelembung di tengahnya. Wajah orang itu sebersih pakaiannya.
“Permisi, Pak!” orang itu menyapa Pak Kirman yang sedang sibuk menyayat daging ayam di tengah saat makan siang yang sibuk.
“Saya dokter. Mobil saya mogok di ujung jalan itu. Saya lupa bawa dompet, saya lupa tak pakai arloji, dan HP saya ketinggalan. Saya harus segera ke rumah sakit naik taksi. Bisakah saya pinjam uang Rp 50.000? Nanti sore saya kembalikan,” ujar orang itu.
Pak Kirman mendongak dan memandangi orang itu dari atas ke bawah dengan mimik sinis. Tangannya tak berhenti menyayat daging ayam.
“Maaf, saya tidak punya uang sebanyak itu,” ujar Pak Kirman menuang kuah soto, tanpa menoleh lagi.
Orang itu segera pergi. Pak Kirman melirik kelebat orang itu meninggalkan warungnya. “Enak saja,” dengus Pak Kirman pada orang-orang di warungnya. “Ia pasti penipu. Banyak penipu berlagak perlente sekarang ini,” kata Pak Kirman pada orang-orang di warungnya. Orang-orang manggut-manggut mengiyakan.
Dan mampirlah orang itu ke warung buah-buahan Bu Tumirah
“Saya dokter. Mobil saya mogok di ujung jalan itu. Saya lupa bawa dompet, saya lupa tak pakai arloji, dan HP saya ketinggalan. Saya harus segera ke rumah sakit naik taksi. Bisakah ibu pinjami saya uang Rp 50.000? Nanti sore saya kembalikan”
Bu Tumirah menuang apel dari timbangan ke tas plastik, baru kemudian mencari sumber suara itu. “Apa, Pak?”
“Saya dokter. Mobil saya mogok di ujung jalan itu. Saya lupa bawa dompet, saya lupa tak pakai arloji, dan HP saya ketinggalan. Saya harus segera ke rumah sakit naik taksi. Bisakah ibu pinjami saya uang Rp 50.000? Nanti sore saya kembalikan,” orang itu mengulang.
“Pak, mbok jangan aneh-aneh, masak orang ndak kenal tiba-tiba pinjam uang lima puluh ribu,” Bu Tumirah melengos dan menyibukkan diri menimbang melon. Pembeli melon turut memandang dengan tatapan curiga. Orang itu berlalu dari tempat jualan Bu Tumirah. Wajahnya mulai putus asa. Ia kemudian membuka pintu depan Wartet Mas Achmad.
“Permisi. Saya dokter. Mobil saya mogok di ujung jalan itu. Saya lupa bawa dompet, saya lupa tak pakai arloji, dan HP saya ketinggalan. Saya harus segera ke rumah sakit naik taksi. Bisakah Mas pinjami saya uang Rp 50.000? Nanti sore saya kembalikan”
Mas Achmad terperangah mendengarkan bicara orang itu, dan langsung memandangnya rendah. “Pak, saya kasih tahu ya, kalau mau menipu, Anda cari tempat lain saja. Walaupun Anda tampak rapi begitu, orang tetap tahu Anda mau menipu. Tolong keluar dari Warnet saya,” ujar Mas Achmad setengah menghardik. Orang itu mundur beberapa langkah dan menyeka keringat sambil beralih ke bengkel Pak Juwardi.
“Maaf, pak. Saya dokter. Mobil saya mogok di ujung jalan itu. Saya lupa bawa dompet, saya lupa tak pakai arloji, dan HP saya ketinggalan. Saya harus segera ke rumah sakit naik taksi. Bisakah Bapak pinjami saya uang Rp 50.000? Nanti sore saya kembalikan”
“Sampeyan ini dokter?” Juwardi mendekati orang itu dengan wajah mengejek. “Dokter kok pinjam uang?” Pak Juwardi membalikkan badan, menerima pembayaran jasa ketok ‘magic’ senilai Rp 500.000 dari seorang pelanggan. Orang berpakaian necis itu tak banyak bicara dan berjalan perlahan ke arah Pak Wagiman. Ia melihat Pak Wagiman menghisap asap terakhir rokok yang hampir habis. Api rokok dekat sekali dengan bibir keriput pak Wagiman. Ragu-ragu ia menghampiri pak Wagiman.
“Pak…..Pak, permisi, ya,” ia membungkuk di dekat Pak Wagiman. Pak Wagiman tak menoleh. Kuatir tak terdengar, orang itu mendekat lagi
“Permisi, pak. Saya dokter. Mobil saya mogok di ujung jalan itu. Saya lupa bawa dompet, saya lupa tak pakai arloji. Telepon genggam saya ketinggalan. Saya harus segera ke rumah sakit naik taksi. Tolong saya pinjam uang Rp 50.000. Nanti sore saya kembalikan”
Pak Wagiman melihat sesaat. Lalu tanpa banyak bicara, membuang puntung rokok, menghampiri kaleng usang di pojok tenda dan merogoh uang dari dalamnya. Perlahan tangannya yang mulai gemetar menghitung lembaran kumal lima ribuan dan seribuan. Dijungkirnya kaleng itu untuk mengeluarkan kepalan-kepalan uang kertas dan sejumlah uang logam, dan mulailah Pak Wagiman menghitung. “Sepuluh ribu, sebelas ribu, lima belas ribu, ……………… dua puluh satu ribu lima ratus rupiah!” Pak Wagiman mengangsurkan uang-uang receh kumal yang menumpuk di telapak tangannya. Pak Wagiman mengais selembar tas plastik bekas di tanah, dan memasukkan gundukan uang itu ke dalam tas plastik, dan menyerahkannya pada orang itu. Cepat orang itu meraihnya, seolah takut Pak Wagiman urung meminjamkan uang itu.
“Terimakasih, pak. Nama bapak siapa?” tanya orang itu.
“Wagiman!”
“Baik, Pak Wagiman. Nanti sore saya kembali ke sini,” orang itu melintas jalan, melambaikan tangan ke arah taksi yang lewat dan lenyap ke dalam taksi. Pak Wagiman tak berusaha menatap taksi yang menghilang di tikungan dan membersihkan kaleng usang tempat uang yang kini kosong melompong. Empat tetangga yang tadi sibuk luar biasa kini menatap kepergian orang itu dengan geram.
“Pak Wagiman kenapa kasih dia uang?” Pak Kirman berujar.
“Nanti sore pasti dikembalikan,” tukas pak Wagiman.
“Tidak mungkin. Kelihatannya dia itu penipu. Banyak yang berlagak seperti itu sekarang ini,” sambung Bu Tumirah.
“Saya ikhlas, kok!” tutur pak Wagiman.
“Ya, rugi, pak. Bapak kok mau saja ditipu?” kata mas Achmad.
“Saya tidak merasa ditipu. Kalau tidak kembali ke sini, anggap itu amal saya,” kata Pak Wagiman.
“Bagaimana sih Pak Wagiman ini, sudah hidup susah kok berlagak beramal. Lagian uang itu pasti hasil kerja Pak Wagiman seharian. Kalau berani kembali ke sini, saya tabok mukanya orang itu,” ucap Pak Juwardi.
Sampai menjelang petang orang-orang terus bergunjing soal orang perlente yang sukses meminjam uang dari Pak Wagiman. Pak Wagiman sendiri baru bisa makan siang selepas jam 3, setelah menerima pembayaran satu jasa tambal.
Dan seperti yang diperkirakan orang-orang, sore itu orang ‘sang dokter’ tidak kembali ke jalan itu. Ke-empat orang yang telah memutuskan untuk tidak memberi pinjaman uang itu ternyata benar, ‘dokter’ itu pasti cuma bajingan kelas teri yang kerjanya tipu sana-sini.
Sampai seminggu kemudian, menjelang matahari terbenam, sebuah mobil amat bagus dan mengkilap berhenti di depan tenda tambal ban Pak Wagiman. Begitu pintu mobil dibuka tertebar hawa sejuk dan aroma harum parfum mobil. Orang yang sudah seminggu dipergunjingkan sebagai bajingan kelas teri itu turun dari mobil, senecis dan sebersih minggu lalu, mendekati Pak Wagiman.
“Beribu-ribu maaf, Pak Wagiman, saya terlambat seminggu dari janji saya. Ini uang bapak saya kembalikan, dan saya bulatkan menjadi Rp 25.000.”
Pak Wagiman menerima selembar uang itu. “Berkat Pak Wagiman tempo hari itu saya tidak terlambat sampai di rumah sakit dan bisa mengerjakan tugas mengoperasi pasien saya dengan baik. Terlambat sedikit, pasien saya pasti meninggal”. Orang itu naik mobil kembali dan hilang dari pandangan. Pak Wagiman tertegun dengan uang duapuluh lima ribu di tangan.
“Wah, kembali juga orang itu. Kok cuma duapuluh lima ribu? Dia tidak kasih persen apa-apa?” Pak Kirman bertanya.
“Uang dua puluh satu ribu limaratus rupiah dipinjam seminggu, cuma ditambah tiga ribu lima ratus! Keterlaluan! ” komentar Mas Achmad.
“Orang pelit luar biasa,” Bu Tumirah menyumbang makian.
“Orang jaman sekarang mana mau obral uang buat orang kecil yang pernah menolongnya sekalipun,” Pak Juwardi menyimpulkan.
“Tidak apa-apa. Saya ‘kan bilang saya, ikhlas. Masih untung uang saya kembali, dapat tambahan tiga ribu lima ratus pula,” Pak Wagiman mengantongi uangnya.
Baru saja uang itu masuk kantong, tiba-tiba berhenti sebuah mobil lain. Pak Wagiman melirik, ini benar-benar jenis mobil yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Merknya pun tidak seperti biasanya. Mobil itu benar-benar kokoh, mewah, dan indah, pasti ratusan juta harganya.
Sopir turun dari pintu depan kanan, dan berjalan memutar ke pintu kiri untuk membukakan pintu. Dari pintu itu turun seorang perempuan berumur 40-an yang teramat cantik dengan kulit bersih. Perempuan itu kemudian membuka pintu belakang. Di jok belakang duduk seorang laki-laki yang juga berusia sekitar 50-an. Ia tak banyak bergerak dan wajahnya tidak terlalu sehat, tapi ia terlihat tersenyum penuh semangat di balik kaca jendela yang sengaja diturunkan untuk mengirim keluar senyum itu.
“Pak Wagiman!” panggil orang itu. Pak Wagiman terperangah. Tak percaya orang itu memanggil namanya.
“Pak Wagiman,” sekali lagi orang itu memanggil lirih. Pak Wagiman bangkit dari duduk dan menghampiri jendela. Orang itu mengangsurkan sebuah kotak sebesar kotak sepatu.
“Ini buat Pak Wagiman”.
Pak Wagiman ragu untuk mengangsurkan tangannya menjemput kotak itu.
“Apa ini?” Pak Wagiman mengira itu makanan.
“Ambillah. Saya pasien dokter Hariman. Ia berhasil menyelamatkan saya dengan operasi jantung tepat waktu, dan itu berkat uang taksi yang Pak Wagiman pinjamkan padanya. Ambillah, ini ucapan terimakasih sekadarnya dari saya”
“Sekali lagi terimakasih. Saya bisa hidup terus karena Pak Wagiman,” kata orang itu. Perempuan cantik itu menutup pintu belakang, tersenyum pada Pak Wagiman dan orang-orang yang mengelilinginya. Sejenak kemudian mobil itu berlalu dari pandangan. Pak Wagiman mendekat kotak itu, dan perlahan membuka tutupnya. Begitu kotak terbuka, Pak Wagiman nyaris tak bisa mempercayai matanya. Uang! Semuanya uang dalam pecahan seratus ribuan baru. Gemetar ia membawa uang itu ke tempat tersembunyi di tendanya. Ia ternganga-nganga. Tak mampu ia menghitung uang sebanyak itu. Ke-empat tetangga yang tadi merubung juga tertegun dan kini mereka mulai berbaik hati membantu Pak Wagiman menghitung uang itu.
“Dua puluh satu juta limaratus ribu rupiah” ujar Mas Achmad seusai menghitung uang. Bu Tumirah menatap uang itu dengan air liur merembes di ujung bibir. Pak Juwardi mondar-mandir di depan tenda, pikirannya berkilas balik ke seminggu lalu dan mulai menganalisis tanda-tanda kejaiban dari datangnya dokter itu. Pak Kirman mengepal-ngepalkan tangan menyesali sesuatu.
“Pak Wagiman mendapatkan 1000 kali yang ia pinjamkan,” tutur Pak Kirman.
“Pak Wagiman mau apakan uang itu?” tanya Mas Achmad.
“Lima juta untuk Pak Kirman,” kata Pak Wagiman. “Lima juta untuk Bu Tumirah,” lanjutnya, “Lima juta buat Mas Achmad, dan lima juta buat Pak Juwardi”
Ke-empat tetangga Pak Wagiman tercengang. Nyaris tak percaya.
“Benar ini, Pak?” Mas Achmad segera ingin tahu kelanjutannya. Ia berharap Pak Wagiman tidak sedang bercanda.
“Benar,” kata pak Wagiman. Ia diam sesaat. “Untuk sampai pada saya, dokter itu harus ditolak oleh Pak Juwardi, sebelum sampai Pak Juwardi, ia harus diusir dari tempat Mas Achmad, sebelum ke Mas Achmad, ia dicampakkan dulu oleh Bu Tumirah, dan sebelumnya, Pak Kirmanlah yang mengirim dokter itu ke tempat Bu Tumirah. Jadi. Saya hanya akan merasa tenteram kalau cuma mendapakan sisanya”
Dan demikianlah keputusan Pak Wagiman itu diterima dengan penuh sukacita dan pujian oleh Pak Kirman, Bu Tumirah, Mas Achmad dan Pak Juwardi.
Sedikit menjelang sore, tiba-tiba saja, secara bersama-sama, masing-masing di warung soto Pak Kirman, di warung buah-buahan Bu Tumirah, di Warnet Mas Achmad dan di bengkel Pak Juwardi tiba-tiba berdiri seorang perempuan paruh baya yang cantik, anggun dan rapi dandannya. Bajunya kelihatan mahal, dan harum sekali. Kulitnya bersih dan senyumnya keibuan. Pastilah ia seorang pengusaha besar. Tak seorangpun memperhatikan bahwa ke-empat perempuan kembar persis serupa wajah dan pakaiannya secara bersama-sama kini berhadapan dengan ke-empat tetangga Pak Wagiman. Tak seorangpun memperhatikan perempuan itu membuka kacamata dan memberi salam.
“Maaf, saya seorang pengusaha batik. Mobil saya mogok di ujung jalan itu. Dompet saya ketinggalan, HP saya ketinggalan dan saya harus segera menutup uang transaksi batik di kantor distributor garmen di seberang jalan itu. Adakah yang bisa meminjami saya uang lima juta rupiah?. Nanti saya kirim orang untuk mengembalikan uang itu ke mari”
Tanpa pikir panjang, tanpa seorangpun tahu satu sama lain, secara bersama-sama, Pak Kirman, Bu Tumirah, Mas Achmad dan Pak Juwardi membuka kotak tempat menyimpan uang dan dan mengangsurkan lima juta rupiah pemberian pak Wagiman pada perempuan di hadapan mereka.
“Silakan pakai uang saya. Jangan ragu-ragu,” demikian ke-empat tetangga pak Wagiman mengiringi berpindah tangannya uang itu.
Tak lama kemudian perempuan itu menghilang dari ke empat tempat usaha tetangga pak Wagiman. Begitu perempuan itu pergi. Pak Kirman, Bu Tumirah, Pak Juwardi dan Mas Achmad sibuk belajar untuk tidak buka mulut perihal kedatangan perempuan itu. Dan mereka, tanpa sepengetahuan masing-masing, tetap menjaga rahasia dari satu sama lain itu dan menunggu keajaiban sampai minggu depannya. Mereka sengaja membiarkan agar tidak perlu ada orang lain yang tahu. Hanya kepada saya ke empat orang, tanpa sepengetahuan satu sama lain, secara sembunyi-sembunyi, menceritakan kisah kedatangan perempuan itu ke tempat kerja mereka.
Hari ini genap tiga tahun perempuan itu datang pada mereka. Ke-empat tetangga Pak Wagiman, masing-masing, tanpa sepengetahuan satu sama lain, masih tetap menunggu.
Akan halnya Pak Wagiman, ia tidak lagi ada di jalan itu. Ia merasa tenda tempat usaha pompa bannya sungguh misterius. Di sore hari setelah ia membagikan uang pemberian dermawan itu kepada para tetangganya, ia bermimpi mendapat kunjungan dari seorang perempuan cantik paruh baya ke tendanya, dan pada saat bangun ia mendapatkan ada dua puluh juta rupiah tersusun rapi dalam kaleng tempat uang yang ia taruh di bawah balai-balai bambu tempat ia biasa rebahan. Pada saat itulah ia memutuskan tidak kembali lagi ke tendanya.
By :