:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: Poem's, Lyric & Story: Maret 2011

.......

JAngan Pernah Melupakanku

~.~

My Blog

Tempat Share orang2 yang suka nulis n membaca, Tapi maaf ga bisa di Copy...

Ramalan Jodoh

Jumat, 18 Maret 2011



di Jatinangor Bareng kawan2 SMA doeloe...



Numpang Mejeng ni...



Photo Bareng KM, Ceu Ety Markety hhehehe...

Do'a Seorang Tukang Gorengan

Suatu hari dibumi allah , tuhan semesta alam ada seorang hamba Allah meninggal dunia.. berjalanlah iring – iringan penggotong jenazah sambil menyerukan lafal “Laillahaillah”, ditengah perjalanan para iringan penggotong jenazah berpapasan dengan seorang tukang gorengan, tukang gorengan itu berhenti sesaat dan menurunkan gorengannya. Iringan pengantar jenazah pun berlalu ..

Setelah selang beberapa hari setelah pemakaman tersebut, peristiwa aneh itu muncul, suatu malam ahli waris dari almarhum bermimpi bertemu dengan alharhum, terlihat oleh si ahli waris wajah almarhum begitu bersih, berseri-seri dan memancarkan sinar yang menyilaukan ..

Bertanyalah si ahli waris kepada almarhum, “Ayahku, sungguh kulihat engkau begitu berseri, apa yang membuat ayah sebahagia ini?” dalam mimpi itu almarhum tersenyum lalu berkata “Allah telah mengampuni semua dosaku dan aku ditempatkan ditempat yang sangat nyaman dan indah, semua ini berkat do’a yang ikhlas dari seorang tukang gorengan, sampaikan ucapan terima kasihku padanya.” Setelah berkata itu, terjagalah si ahli waris dari tidurnya ..

Keesokan harinya si ahli waris mencari-cari siapa tukang gorengan itu yang sampai-sampai do’anya bisa menghapus dosa seseorang, do’a seperti apa yang ia panjatkan kepada Allah pikir si ahli waris…

Akhirnya pada suatu kesempatan bertemulah si ahli waris dengan tukang gorengan tersebut, si ahli warispun langsung menceritakan semua kejadian yang dialami dalam mimpinya. Tukang gorengan itu hanya berkata, “ tidak ada yang beda do’a saya dengan do’a-do’a yang lain, apalagi saya bukan orang berilmu yang pandai dalam berdo’a, saya hanya memohon kepada Allah ketika saya berpapasan dengan jenazah itu.. ya Allah hari ini ia hambamu akan menjadi tamu dan akan datang memenuhi panggilanmu, ya Allah berikanlah kepadanya tempat yang terbaik, suguhilah ya allah dengan jamuan terbaikmu, ya Allah jika saja ia bertamu padaku maka akan kusuguhi semua gorengan ini sebagai jamuan agar senang, setelah melakukan perjalan yang panjang .”

Si ahli warispun pulang dengan haru, betapa Allah tidak pernah memandang jabatan, kekerabatan dan pangkat seseorang untuk ia kabulkan do’anya.



My Love My Djoub Miss u Djoub.... :)



cantiknya djoub ku...



terima kasih Tuhan Engkau telah kirim dia dihatiku..



ku tak tau bagaimana hancurkan jika kau pergi dariku..



ku harap kau selalu menjaga cinta ini sayang...



terima kasih untuk semua yang telah kau berikan sayang....

Rabu, 02 Maret 2011

NEGERI VAN ORANJE

Prolog

Di Rotterdam
“TITUIT!” bunyi SMS masuk. Banjar meliriknya. Duh, kenapa SMS ini mesti lo kirim sekarang, siiiiiih ? tanpa pikir panjang, Banjar langsung mematikan rokok kretek yang baru dihisapnya empat kali, perbuatan yang biasanya diharamkan ditengah kelangkaan stok kretek. Iapun loncat meninggalkan meja kafe yang di atasnya masih terdapat secangkir koffe verkeerd yang mengepul, menggoda, memikat, minta diseruput! Digamitnya lengan pelayan terdekat, sambil mengeluarkan selembar uang berhiaskan angka lima dari dompet.
“Mijn, excuse, dame! This is for table three. Keep the change!”
Banjar menyodorkan lembaran itu dengan terburu-buru sambil berjalan cepat menuju pintu.
“Maar, Meneer!Sir! Come back! What is this??”
Tapi BAnjar sudah tak lagi dapat mendengar. Pelayan itu memandang dengan bingung pemuda yang berlari tunggang langgang meninggalkan kafe. Dengan umpatan halus, sang waiter mengantongi selembar lima puluh ribu rupiah dalam genggamannya.

Di Utrecht
Minuman keras, MIRAS! Apa pun namam….uuuu… tak akan kusentuh lagi dan tak akan …
“Oops, sorry!” bergegas Daus mengangkat Hp polifonik sumbang miliknya berusaha menghentikan lolongan keras Rhoma Irama yang memecah keheningan romantis dalam kafe.
Saking terburu-burunya, Daus sampai menumpahkan segelas chardonnay ke atas meja. Note to self : cepat ganti nada dering dangdut ini !
“Halo?” Daus menerima telepon sembari terheran-heran.
“Gue udah o-te-we! Lo dah sampe mana?” terdengar suara Banjar terengah-engah, bersaing keras dengan backing vocal lolongan angin yang menderu. Pasti sambil naik sepesa.
“Dijalan mau kemana ?”
“Oncol-oncol bego! Udah baca SMS belum, lo?”
“SMS apaan? Buru-buru mau ke mana, sih ?”
“Cek hape lo, Col! Kita nunggu disana. Buruan!”
Dan sambungan itu terputus.
Daus mengumpat pelan. Sudah telepon merusak kencan, pakai acara marah-marah pula!
“What’s that all about, Daus ? Something wrong?” Tanya Selisha, gadis manis asal Amerika sambil me-reffil kembali gelas anggur yang td tumpah.
“No, nothing’s wrong,” balas Daus sambil membuka inbox SMS. “Everything fi-…”
“…”
Masya Allaaah! Pigimane, nih?
Daus berdiri tergesa.
Damn. Wine tumpah kembali.
Emang nasib gue ga boleh minum alkohooooool!
“Selisha, I have to go.”
“What? What’s wrong?’
“I can’t explain it now. I’m really sorry, I gotta run!”
Daus cepat-cepat berlari menuju parkiran sepeda. Bahkan sampai lupa cupika-cupiki tiga kali seperti yang biasa ia lakukan dengan teman-teman wanitanya di Belanda.

Di Wageningen
Wicak tersentak. Agak bingung kalau menerima SMS dalam situasi ini.
Saat itu nia berada diperpustakaan. Sedang beramah-tamah dengan seorang professor yang berpapasan dengannya saat ia mengurus administrasi pengembalian buku. Mau dibaca ribet, bisa dianggap tidak sopan; engga dibaca, penasaran!
Akhirnya curiosity killed the cat, meski membunuh kucing diharamkan oleh agama. Wicak membuka inbox, saat sang professor menoleh menyapa rekannya yang lewat dan…
“KUNYIT!! Kunaon si eneng the?”
“Wat zeg je, Wicak? Koo nyee?” sahut sang professor.
“Er, ehm… kunyit is errr… turmeric sir. Ehmm … a rare specimen from Indonesia! You know, for biodiversity research. I …uh … received a package of ehm … kunyit. I have to pick it up now at the … uh …. Post office.”professor berambut gondrong sebahu itu mengangguk dengan penuh empati.
“Oh yes, yes, anything for science! Go ahead!”
Tanpa basa-basi lagi, Wicak langsung balik kanan ngeloyor keluar gedung. Anything for science and si Eneng! Pikir Wicak seraya bergegas membuka gembok sepeda.
Perjalanan masih panjang ke stasiun kereta. Untungnya dimusim panas seperti ini, angina sudah tak lagi bertiup kencang menghambat perjalanan. Dimusim gugur, seringkali sepeda fongers ten speed super-ringan milik Wicak berubah jadi seberat becak berpenumpangn beruang kutub.
Namun hari ini, ditengah siang bolong hari yang cerah di Wageningen, Wicak menggenjot sepedanya sekuat tenaga, berburu dengan waktu.

Di Den Haag.
Delivered. Delivered. Delivered.
SMS S.O.S telah dilayangkan kepada tiga orang yang paling ia percaya ditanah kompeni ini. Ia tak berani menelepon, takut membuang pulsa sia-sia, sementara yang terdengar di seberang sana hanyalah sesenggukan incoherent seorang perempuan patah hati.
Lintang menatap langit di atas garis Pantai Scheveningen yang bersemu merah, jingga, ungu. Sunset sempurna dengan suasana hati yang sangat tidak sempurna. Seumur hidupnya, Lintang bukan termasuk golongan yang religius. Tetapi dalam gundah, kali ini Lintang mengiba dengan tulus”Ya Tuhan,” Bisiknya pada langit.
“Tuhan Yang Maha Pedmurah, Tuhan Yang Maha Mengerti.”
“Lintang tah, akhir-akhir ini Lintang masih nakal. Shalat bolong-bolong. Jarang berbagi rejeki. Cuma traktir teman-teman sekali waktu dapat gaji pertama, itu juga habisnya buat beli Witte Wickse. ( Oh ya, dan masih bandel coba-coba minum! Catat Lintang dalam hati ). Lintang juga anak durhaka, udah beli pulsa telepon pake VOIP, NELEPON Mama-Papa di Indonesia Cuma kalo ada perlunya.”
“Tapi Tuhan, kalau Engkau memang Maha Pemaaf dan Maha Penyayang, tolong percepat langkah ketiga sahabat Lintang ke sini. I’ve never needed them more than I do now …
Lintang kembali tertunduk, dan pasrah membiarkan hujan air matanya mengalir.

Amersfort

“Dames en heren.” Sebuah pengumuman berbahasa Belanda membahana mengisi stasiun kereta.
“Akibat cuaca buruk, semua kereta ditunda keberangkatannya sampai pemberitahuan lebih lanjut. Harap menghubungi meja informasi untuk keterangan lebih lanjut. Onze excuse voor uw ongemak.”
Monyet, bekantan, orang utan, beruk! Gagal deh gue dapet kerjaan di Utrecht!
Ditengah badai seperti ini, Banjar kerap jadi melankolis dan nama kawan-kawannya tanpa sadar bermunculan.
Banjar menekuk mukanya dengan kesal. Baginya, falsafah “time is money” sudah mendarah daging. Jadi kehilangan kesempatan wawancara kerja hanya karena sebuah badai angina topan yang membuat badai Katrina setenang hembusan AC memang menyebalkan. Namun, yang membuat muka berteukuk lebih ruwet dari origami bukan karena hilang waktu. Tapi karena…
“Huaaaaah … kretek gue abiiiiiiiiiiis!”
Ia menatap kotak kretek itu penuh harap, seolah sinar mata dan tetesan air liur bisa memunculkan kembali sebatang rokok dengan ajaib bagaikan jin dalam botol. Banjar kembali mengutuk keputusannya telah mengambil rute Amersfort.
Coba tadi gue ganti kereta di Bandara Schiphol aaja, kan nggak bakal begini jadinya! Paling sial gue kejebak di Schiphol atau Amsterdam Centraal yang besar, nyaman, dan banyak tokonya! Gerutu Banjar dalam hati.
Laah di Amersfort Cuma ada satu stan penjual kopi yang antreannya mirip pembagian jatah qurban di Istiqlal. Mana gue curiga si penjaga stan itu pake kumis tempelan!
Hmm. Oke, mungkin itu sedikit hiperbol.
Kumisnya boleh jadi asli, tapi gue yakin belahan rambut itu gak wajar. Jangan-jangan dia pakai wig! Wig-nya pasti buatan Purbalingga!
“Gue butuh kretek nih, kalo nggak bisa gilaaaa! Teriak alam bawah sadar Banjar yang , kok ya, kompak dengan mulutnya.
Dari kerumunan orang yang berambut blonde, brunette, dan redhead, tiba-tiba muncul seorang pemuda berkulit gelap, berambut hitam kriwil, berperawakan tinggi cungkring, dan berwajah melayu.
“Teriak-teriak malu-maluin bangsa, Kang. Abdi aya tingwe kalo mau,” seru pemuda yang tiba-tiba muncul bagai malaikat, sembari menyodorkan bungkusan kecil berwarna biru berisi tembakau dan kertas lintingan.
“Wah, makasih! Dari Indonesia juga?” Tanya Banjar sambil memungut segepok besar tembakau, lalu mulai melinting seukuran cerutu.
“Enggak, gue mah orang Islandia yang kebetulan tinggal lama di Bogor.”
“???”
“Ya, iyalah orang Indonesia! Emangnya tampang gue kurang Indonesia, apah? Eh, jangan-jangan gue punya tampang kayak orang Viking, yah? Emnag sih, dari dulu udah ngerasa kalo hidung ini mancungnya emang beda. Kayak bule, gitu.”
“ …..”
“Oh ya, belum kenalan. Wicak. Ngomong-ngomong, enggak salah tuh, Kang? bikin lintingan gede pisan?” sembari mengulurkan tangannya dengan ramah.
“Banjar,” sambil menarik jari keluar dari hidung, tak kalah ramah.
Kedua insan itu bersiap menikmati rokok linting mereka, hingga tersadarkan akan sebuah detail esensial.
“Pinjam lighter, dong.”
“ …..”
“ … .”
“Waduh, map … nggak punya, euy!”
“Yah, sama, dong …”
Kedua mulai clingak-clinguk mencari cewek pemilik lighter yang kira-kira nggak rugi buat sekalian diajak kenalan. Bagi mereka, nggak punya korek justru handicap positif untuk berkenalan dengan perempuan!

Out of the blue, muncul sebuah tenor.atu mungkin Alto. Yang jelas, cempreng.
“Alhamdulillaaaaaaah … ada juga orang Indonesia yang pas lagi blangsak begini! Lidah gue dah pegel linu ngoceh bahasa Enggris sedari tadi!”
Kedua pemuda itu saling berpandangan dan nyengir bareng. Setelah berbasa – basi sebentar, serentak keduanya menerima lebar ucapan perkenalan dari si pemilik suara, yang dengan hebatnya memiliki dua korek api gas dalam tasnya, tanpa sedikitpun tembakau di situ. Tak lama ketiganya pun bersam-sama menyalakan rokok linting hasil gibah dari Wicak.
“Makasih ya, Mas…”
“Daus, kagak usah pake mas-masan segala. Kagak pantes.”
“Oke. Thanks, Daus.”
Mereka menikmati rokok dalam diam.
Ditengah kekhusyukan merokok, terdengar sebuah suara bas. Dari nadanya seperti orang bertengkar. Suaranya terdengar memohon dan sedikit tegang. At least, kedengarannya begitu, karena mereka bertiga belum mampu memahami Nederlands yang fasih meluncur dari mulutnya. Mereka mencuri pandang kea rah si cowok misterius, terpancing rasa penasaran.
Sambil mengamati, ketiganya kegantengan si cowok misterius. Nurunin pasaran cowok-cowok disini aja, pikir mereka dalam hati. Seolah setiap perempuan single yang terjebak di tengah badai di stasiun kereta secara otomatis akan mencari cowok p-aling ganteng untuk menyegarkan pemandangan (padahal emang). Kayaknya orang Belanda blasteran ya ? dari warna rambut dan matanya yang gelap tersirat imbas gen Asia. Terdengar cowok itu sedang memohon melalui telepon selulernya.
“schaatje, alsjeblief!... Wat zeg je? Nee, lie verd. Ik kan niet … Halo? Halo?”
Pembicaraan itu terputus, dan cowok itupun mengumpat. “Verdomme!”
Ia menutup HP, kemudian terlihat sibuk merogoh tas ransel miliknya. Tampaknya ia sedamng mencari sesuatu.
Cres.
Terdengar suara gemeretak diikuti aroma yang khas yang baunya acap dibenci mayoritas kaum bule. Bau yang berasal dari rempah harum bernama kruidnagel. Rempah yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi clove, dan dalam bahasa pergaulan sehari-harian taipan Putera Sampoerna menjdai cengkih.
“Hmmmmm ….”
“Waaah itu kan bau …”
“KRETEK!!”
Tanpa disangka, si cowok misterius menoleh kea rah sumber suara-suara mupeng, alias muka pengamat.
“Kretek, Mas? Sebenarnya saja nggak ngerokok, tapi berhubung badai begini … lumayanlah buat bikin badan anget.”
Cowok itu dengan ramah menyodorkan sekotak rokok kretek yang masih penuh.
“Silakan, lho.”
Banjar, Wicak dan Daus hamper berlutut bahagia, tapi dalam hati mereka mengutuki nasib.
Yah, orang Indonesia juga.
Sialan, ganteng amat, sih jadi orang Indonesia. Makin turun deh pasaran gue.
Tapi, kalau cowok perokok kretek diberi pilihan antara gengsi dan menelan gengsi demi kesempatan mendapat rokok kretek ditengah hujan badai, tentunya itu bukan pilihan sulit.
“Makasih yah … sorry.. siapa tadi namanya?”
“Geri. Ambil lagi aja juga gak papa. Ini baru aja dibawain teman dari Indonesia.
“Wah, Ger. Thanks banget!” seru Banjar sumri8ngah.
Rokok linting segera pension diganti dengan rokok kretek pemberian Geri.
“Sialan…”
“Sedep euy…”
“Subhanallah…”
Keempatnya pun tenggelam dalam kenikamtan duniawai tiba-tiba..
“Waaaaaaaaaaaaaaaa dari Indonesia yaaa?”
Keempat cowok itu terkejut dan menoleh mencari sumber suara feminin nan ceria yang tiba-tiba muncul.
Seorang perempuan tinggi semampai, wajah cantik, rambut dikuncir dan suara ceria tanpa tedeng aling-aling langsung datang menghampiri sambil menyodorkan tangannya.
”Halo! Aku Lintang, tinggal di Leiden. Seneng banget bisa ketemu orang Indonesia di tengah badai kayak begini! Mas semua dari mana?”
Banjar yang paling cepat tanggap kalau ada “Barang bagus’ jadi orang pertama yang menyambut tangan Lintang.
“Iskandar. Gue di Rotterdam.”
“….”
“Lah, katanya nama ente banjar?” celetuk Daus.
“Oh, hehe …iya. Panggilan sih banjar. Tapi nama asli gue Iskandar.”
Yee giliran kenalan sama cewek cakep aja namanya jadi bagus, pikir Daus dalam hati.
Lintang hanya mengulum senyum.
“Daus, dari Utrecht.” Daus gentian mengulurkan tangan.
“Geri. Den Haag.”
“Wicak. Wagengingen.”
“Abis pada jalan dari mana kok bisa terdampar di Amersfort?” Tanya Lintang sambil mematikan iPod-nya. Dalam situasi gawat darurat lagi pula garing seperti ini, seasyik-asyiknya mendengar musik, jauh lebih menyenangkan punya temen ngobrol.
“Hmm. Jangankan tahu kenapa ada disni, Gue aja masih heran kenapa gue bisa terdampar di Belanda,” sahut BAnjar kalem sambil terbatuk-batuk tersedak asap.
Lintang menyengir kuda.
“Looks like we’ge got time to kill.”
Dan terjadilah sudah. Sebuah pertemuan tak disengaja yang tanpa disadari akan membelokkan jalan hidup mereka. Berkat badai, kretek dan takdir.

next : Bagian 2 ( Sabar ya )